INTRODUCTION:FROM MASS COMMUNICATION TO CONVERGENT SOCIAL MEDIA
Konsep dari
komunikasi massa muncul pada abad awal 21 dan berhubungan dengan kemunculannya
studi komunikasi. Menurut Harold Lasswell komununikasi itu adalah tentang:
·
What
(sender)
·
Says
What (massage)
·
In
Which Channel (media)
·
To
Whom (receiver)
·
Wiht
What Effect?
Paradigma komunikasi
massa pada gilirannya bertumpu pada model transmisi komunikasi, yang dimana
mengizinkan untuk faktor seperti
umpan balik, noise dan kegagalan sinyal melihat komunikasi sebagai pesan
satu arah antara pengirim ke penerima.
Ini terkait dengan konsep masyarakat dan budaya masyarakat, dan asumsi yang
tidak berdasar bahwa “audience” merupakan penerima
akhir dari proses komunikasi harus, dan bisnis produksi dan pesan trasmitting
dipandang sebagai
sesuatu hal yang dipegang oelh
tangan-tangan para ahli.
John Thompson dan
Denis McQuail mengidentifikasi beberapa kunci dari komunikasi massa yang
mendominasi abad kedua puluh:
1.
Penggunaan teknologi
media yang memungkinkan produksi berskala besar dan distribusi dari informasi
dan konten simbolik untuk mencapai audiens terbesar yang memungkinkan, yang
pada prosesnya diterima oleh alat berteknologi seperti konten.
2.
Pemisahan instutisional
pada produser dan distributor konten media dari penerima, menimbulkan
baik dari segi biaya produksi dan distribusi, dan peran yang dimainkan beberapa gatekeeper media
sebagai penentuan dasar profesional konten media.
3.
Hubungan kekuatan
asimetris antara produser/distributor dan penerima media yang terakhir memiliki
jangkauan untuk merespon komunikasi satu arah yang besar.
4.
Hubungan antara
produser, distributor dan penerima dari media impersonal yang besar, anonim,
dan dalam banyak hal dikomodifikasi melewati ketergantungan dari pendapatan
industri media komersil berskala besar (audiens dipandang sebagai target
pasar).
5.
Kecenderungan terhadap
standarisasi konten, sebagai keinginan untuk memaksimalkan jumlah audiens (market
share) dibuat dinamis yang promosikan konten media dengan ketertarikan
terbesar yang memungkinkan (cakupan segmentasi pasar terbatas dengan pembedaan
produk).
Secara kontras, fitur sosial media konvergen, seperti yang
sudah muncul pada abad dua puluh satu, termasuk:
1.
dramatically
reduced barriers to entry,
sebagai nilai jatuh dari kombinasi teknologi digital dengan bentuk easy-to-use Web
2.0 memungkinkan akses lebih besar pada produksi media, dimana semua pengguna
dapat ‘menggendong’ pada jaringan digital yang sudah ada dari internet.
2.
blurring
of distinctions between media producers and consumers, dengan kenaikan pro konten media dan
jangkauan individual yang lebih besar dan tim yang lebih kecil untuk menjadi
produser, editor dan distributor dari konten media.
3.
greater
empowerment of media users,
atau yang dikatakan Jay Rosen sebagai ‘orang-orang yang awalnya dikenal sebagai
audiens’, walaupun interaktifitas lebih besar dan komunikasi dua arah mengalir
(contohnya kemampuan untuk berkomentar dalam materi online) sejalan dengan
penyebaran konten media online.
4.
potential
for more personalised media envrionments dan memungkinkan interaksi kelompok disekitar
media melewati jaringan sosial online dan menyebarkan user-created
content (UCC).
5.
diversification
and demassification of media content, sebagai ekonomi seperti yang disebut Chris Anderson sebagai
‘long tail’ memungkinkan jangkauan lebih luas oleh konten media untuk dibuat
tersedia online, baik gratis ataupun memakan biaya jauh lebih rendah dari
sebelumnya.
PARTICIPATORY MEDIA
Konsep media partisipatif biasanya memiliki dua elemen yang
berbeda. Pertama, ada bentuk-bentuk media yang secara beragam disebut radikal,
komunitas atau alternatif yang secara sadar struktur menjadi berbeda dengan
media arus utama. Kedua, ada literatur kajian budaya media tentang pengembangan
budaya partisipatif di sekitar media arus utama, seperti yang terlihat,
misalnya, dalam studi tentang budaya penggemar dan khalayak aktif.
Dalam konteks media penyiaran, media komunitas sering dianggap
sebagai sektor ketiga, berbeda dari siaran komersial komersial dan penyiaran
publik yang dikelola negara.
Atton (2202) membedakan alternatif media yang dikarakteristikan
sebagai:
1.
de-professionalisation: kapasitas untuk menulis, mempublikasikan dan
distribusi berita, ide dan komentar, bukan bagian dari perolehan kontributor
yang menyebarkan material seperti itu.
2.
de-institutionalisation: kemampuan untuk membedakan konten media
(perspektif alternatif pada event berita, jurnalisme investigasi, musik
alternatif dan lainnya) ke dalam public domain, karena keputusan
mereka bukanlah bagian dari bentuk hirarki dan norma yang membedakan praktis
institusi media berskala besar, secara komersial maupun sektor publik.
3.
de-capitalisation: keterbukaan untuk distribusikan media dalam
segala bentuk.
PRO-AMS, MAKING CULTURES AND EVERYDAY CREATIVITY
Dari diskusi tentang
media sosial dan teknologi Web 2.0, kita dapat mengidentifikasi tiga
kecenderungan yang saling berhubungan:
1.
flattened
hierarchies antara konten produser
dan konseumen dari usia many-to-many komunikasi media.
2.
new
opportunities for participation, dan meningkatkan kekuatan untuk saling terhubung dengan orang
lain yang memiliki minat yang sama.
3.
network
amplification, dimana jaringan
sosial…memungkinkan lebih luas, lebih cepat, dan biaya yang lebih sedikit untuk
koordinasi aktivitas.
Pertanyaan yang
muncul dari perkembangan tersebut adalah apakah mereka telah membuka lebih
banyak peluang bagi orang-orang untuk memproduksi dan menyebarkan karya
kreatif, dan apakah mereka dapat mendemonstrasikan kriativitas mereka ke
masyarakat yang lebih luas.
CASE STUDY: MEDIA STUDY 2.0
Ada tiga elemen kunci
dari Studi Media 2.0:
·
Konvergensi industri
media, platforms dan konten, dan cara dimana internet mengubah
media pada setiap level
·
Perbedaan menjadi
kabur, antara prosedur media dan audiens, sejalan dengan pertumbuhan angka
orang yang menjadi kreator, kurator, pengatur dan re-mixers dari
digital media.
·
Ketertarikan pada
‘keterlibatan sehari-hari dan kemungkinan kreatif dari media, seperti yang
dibandingkan dengan fokus tradisional studi media pada media profesional’.
Komentar
Posting Komentar